Awal dari yang Besar
Sering kali kita menganggap sepele pemberian kecil, bukan lagi uang, pemberian dialihkan dalam bentuk yang sulit untuk ditolak: “Hanya sebungkus gorengan, sekotak brownies, atau voucher belanja” pikir sebagian orang. Nyatanya, argumen tersebut hanyalah bentuk rasionalisasi dan alasan pembenaran diri.1 Padahal, pemberian kecil ini dalam pelayanan publik bisa membuka ‘pintu masuk’ perilaku korupsi yang lebih besar.
Gratifikasi dalam Hukum Positif
Mengulik kembali penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12B ayat (1), menyebutkan yang dimaksud gratifikasi adalah pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.2
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, jika diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara maka dapat dianggap sebagai gratifikasi.3
Meskipun demikian, Undang-undang tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan besar kecilnya sebuah pemberian. Hal ini memungkinkan terbukanya ruang penafsiran lebih lanjut bahwa pemberian baik itu dalam bentuk, nilai atau jenis apapun harus benar-benar dicermati oleh seluruh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, selama pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugasnya.
Pemberian atau hadiah sekecil apapun dari rekan, teman, kenalan atau masyarakat yang di baliknya terdapat unsur konflik kepentingan, niat terselubung dan adanya upaya tanam budi (investasi hubungan), maka sebaiknya dihindari dan ditolak. Meskipun nilainya tidak besar, seperti sebatas gorengan, nasi kotak, bolu gulung, voucher belanja, tiket nonton bioskop, ataupun pemberian kecil lainnya tetap dapat berdampak buruk pada profesionalisme dan objektivitas penerima.
Bahkan dalam sejarah pelaporan gratifikasi di KPK tercatat, Rp10.000 yang diberikan kepada penghulu menjadi gratifikasi terkecil yang pernah dilaporkan ke KPK. Hal ini membuktikan, sekecil apapun sebuah pemberian jika ia berhubungan dengan jabatan dan adanya potensi konflik kepentingan, maka tetap digolongkan sebagai pemberian atau hadiah yang dilarang.
Lalu Siapa yang disebut Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara di sini?4
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri ialah:
1. Pegawai Negeri menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Pasal 1 menyebutkan, “Setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
2. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 614:
a. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
b. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Definisi ini mencakup antara lain pegawai pada BUMN/BUMD;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau Masyarakat.
Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara ialah:
1. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;
2. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Pejabat negara lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku: Duta Besar, Wakgub, Bupati/Walikota, dll.
Kategori Gratifikasi
Menurut ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12C, pada prinsipnya semua gratifikasi yang terkait dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban penerima wajib dilaporkan, tanpa memandang besar atau kecilnya nilai pemberian.
Adapun rincian gratifikasi yang wajib dilaporkan dan yang tidak wajib dilaporkan dapat dilihat pada tabel berikut:
Wajib Dilaporkan | Tidak Wajib Dilaporkan |
---|---|
Terkait Dengan Pemberian Layanan Pada Masyarakat; | Adanya hubungan keluarga, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan; |
Terkait Dengan Tugas Dalam Proses Penyusunan Anggaran; | Penyelenggaraan pernikahan, aqiqah, baptis, khitanan, dan potong gigi atau upacara adat/agama lain paling banyak nilai per pemberian Rp1 juta |
Terkait Dengan Tugas Dalam Proses Pemeriksaan, Audit, Monitoring Dan Evaluasi | Penerimaan terkait dengan musibah atau bencana maksimal Rp1 juta per pemberi |
Terkait Dengan Pelaksanaan Perjalanan Dinas | Acara pisah sambut sesame pegawai, pensiun, promosi, dan ulang tahun (tidak berbentuk uang) paling banyak Rp300.000 dengan total pemberian Rp1 Juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama |
Dalam Proses Penerimaan//Promosi/Mutasi Pegawai | Sesama rekan kerja paling banyak (tidak dalam bentuk uang) Rp200.000 dengan total pemberian Rp1 Juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama |
Dalam Proses Komunikasi, Negosiasi Dan Pelaksanaan Kegiatan Dengan Pihak Lain Terkait Dengan Pelaksanaan Tugas Dan Kewenangannya | Hidangan atau sajian yang berlaku umum |
Sebagai Akibat Dari Perjanjian Kerja Sama/Kontrak/Kesepakatan Dengan Pihak Lain Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang | Prestasi akademik yang diikuti dengan biaya sendiri |
Sebagai Ungkapan Terima Kasih Sebelum, Selama Atau Setelah Proses Pengadaan Barang Dan Jasa | Keuntungan/bunga dari penempatan dana, investasi, atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum |
Dalam Melaksanakan Pekerjaan Terkait Dengan Jabatan Dan Bertentangan Dengan Kewajiban/Tugasnya | Manfaat bagi seluruh peserta koperasi atau organisasi pegawai berdasarkan keanggotaan yang berlaku umum |
Dari Pejabat/Pegawai Atau Pihak Ketiga Pada Hari Raya Keagamaan | Seminar kit yang berbentuk seperangkat modul dan alat tulis serta sertifikat yang diperoleh dari kegiatan resmi kedinasan, seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihanatau kegiatan lain sejenis yang berlaku umum |
Gratifikasi dalam Hukum Islam
Dalam Islam, larangan menerima gratifikasi ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Adapun dalil-dalilnya yaitu:5
Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Qur’an Surah Al-Anfal ayat 27 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal/8: 27)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang kami amanahi untuk suatu pekerjaan, lalu dia menyembunyikan (menggelapkan) sebuah peniti dan yang lebih besar dari itu, niscaya dia akan memikulnya nanti di akhirat.” (HR. Muslim No. 3415)
Bahkan sejumlah ulama berpendapat bahwa pemberian hadiah bagi pekerja yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai ghulul (kecurangan/khianat) dan mengandung unsur risywah (Gratifikasi). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,6
“Barang siapa yang kami pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu ia mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut, maka apapun yang ia dapatkan (hadiah atau tips) dari pekerjaan tersebut itulah yang disebut ghulul (hadiah khianat).” (HR. Abu Daud, no. 2943)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan,7
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”
Seorang Pegawai Negeri ataupun Penyelenggara Negara idealnya tidak menerima pemberian apapun dari pihak lain karena dikhawatirkan gratifikasi yang diberi adalah bentuk upaya tanam budi, dan inilah suap terselubung yang tidak menutup kemungkinan adanya maksud tertentu dari si pemberi.
Begitu pun kita yang telah menerima gaji/upah dari negara untuk melayani masyarakat, sebaiknya menghindari pemberian berupa manfaat atau hadiah di luar itu. Sudah menjadi tugas dan kewajiban seorang Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh masyarakat.
Penutup
Untuk menghindari praktik gratifikasi, penerima dalam hal ini Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara harus bisa menganalisis apakah suatu pemberian itu boleh diterima atau tidak dengan cara memperhatikan serta mengingat ciri-ciri yang telah disebutkan sebelumnya. Yang terpenting, menumbuhkan rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Esa, merasa selalu diawasi, menumbuhkan rasa malu untuk berbuat keburukan, berhenti mencari pembenaran atau alasan dari perbuatan korupsi sekecil apapun itu, serta menegakkan prinsip integritas dimulai dari diri sendiri.8
Yuk biasakan yang benar, jangan benarkan yang biasa
- M. Indra Furqon, “Gratifikasi dan Teori Rasionalisasi,” Pusat Edukasi Antikorupsi, 24 Agustus 2024, https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Persepsi/20240808-gratifikasi-dan-teori-rasionalisasi. ↩︎
- “Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” Pemerintah Pusat, 2001, https://peraturan.bpk.go.id/Details/44900/uu-no-20-tahun-2001. ↩︎
- “Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” ↩︎
- Direktorat Gratifikasi KPK, “Pemahaman Gratifikasi Untuk Indonesia Bebas Korupsi,” ↩︎
- Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalah Kontemporer (PT Berkat Mulia Insani, 2019), 200. ↩︎
- Arif Syarifuddin, “Mewaspadai Bahaya Korupsi Referensi : https://almanhaj.or.id/13632-mewaspadai-bahaya-korupsi.html,” Almanhaj, diakses 29 Agustus 2025, https://almanhaj.or.id/13632-mewaspadai-bahaya-korupsi.html. ↩︎
- Muhammad Abdul Tuasikal, “Uang Tips dan Hadiah Khianat,” Rumaysho, 23 September 2010, https://rumaysho.com/1267-uang-tips-dan-hadiah-khianat.html. ↩︎
- Abu Fida’ Abdur Rafi’, TERAPI PENYAKIT KORUPSI: Dengan Tazkiyatun Nafs, Cetakan 1 (Penerbit Republika, 2006), 70. ↩︎